Pengalaman pahit yang dirasakan oleh kaum Quraisy dalam perang Badar
telah menyisakan luka mendalam nan menyakitkan. Betapa tidak, walaupun
jumlah mereka jauh lebih besar dan perlengkapan perang mereka lebih
memadai, namun ternyata mereka harus menanggung kerugian materi yang
tidak sedikit. Dan yang lebih menyakitkan mereka adalah hilangnya para
tokoh mereka. Rasa sakit ini, ditambah lagi dengan tekad untuk
mengembalikan pamor Bangsa Arab yang telah terkoyak dalam Perang Badar,
mendorong mereka melakukan aksi balas dendam terhadap kaum Muslimin.
Sehingga terjadilah beberapa peperangan setelah Perang Badar. Perang
Uhud termasuk di antara peperangan dahsyat yang terjadi akibat api
dendam ini. Disebut perang Uhud karena perang ini berkecamuk di dekat
bukit Uhud. Sebuah bukit dengan ketinggian 128 meter kala itu, sedangkan
sekarang ketinggiannya hanya 121 meter. Bukit ini berada di sebelah
utara Madinah dengan jarak 5,5 km dari Masjid Nabawi.[2]
WAKTU KEJADIAN
Para Ahli Sirah sepakakat bahwa perang ini terjadi pada bulan Syawwâl
tahun ketiga hijrah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.
Namun mereka berselisih tentang harinya. Pendapat yang yang paling
Masyhûr menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada hari Sabtu,
pertengahan bulan Syawwal.[3]
PENYEBAB PERANG
Di samping perang ini dipicu oleh api dendam sebagaimana disebutkan
diawal, ada juga penyebab lain yang tidak kalah pentingnya yaitu misi
menyelamatkan jalur bisnis mereka ke Syam dari kaum Muslimin yang
dianggap sering mengganggu. Mereka juga berharap bisa memusnahkan
kekuatan kaum Muslimin sebelum menjadi sebuah kekuatan yang
dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Quraisy. Inilah beberapa
motivasi yang melatarbelakangi penyerangan yang dilakukan oleh kaum
Quraisy terhadap kaum Muslimin di Madinah.
JUMLAH PASUKAN
Kaum Quraisy sejak dini telah mempersiapkan pasukan mereka. Barang
dagangan dan keuntungan yang dihasilkan oleh Abu Sufyân beserta
rombongan yang selamat dari sergapan kaum Muslimin dikhususkan untuk
bekal pasukan mereka dalam perang Uhud. Untuk menyukseskan misi mereka
dalam perang Uhud ini, kaum Quraisy berhasil mengumpulkan 3 ribu pasukan
yang terdiri dari kaum Quraisy dan suku-suku yang loyal kepada Quraisy
seperti Bani Kinânah dan penduduk Tuhâmah. Mereka memiliki 200 pasukan
kuda dan 700 pasukan bertameng. Mereka mengangkat Khâlid bin al-Walîd
sebagai komandan sayap kanan, sementara sayap kiri di bawah komando
Ikrimah bin Abu Jahl. Mereka juga mengajak beberapa orang wanita untuk
membangkitkan semangat pasukan Quraisy dan menjaga mereka supaya tidak
melarikan diri. Sebab jika ada yang melarikan diri, dia akan dicela oleh
para wanita ini. Tentang jumlah wanita ini, para Ahli Sirah berbeda
pendapat. Ibnu Ishâq rahimahullah menyebutkan bahwa jumlah mereka 8
orang, al-Wâqidi rahimahullah menyebutkan 14 orang[4] sedangkan Ibnu
Sa’d rahimahullah menyebutkan 15 wanita.[5]
MIMPI RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Sebelum peperangan ini berkecamuk, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diperlihatkan peristiwa yang akan terjadi dalam perang ini
melalui mimpi. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan
mimpi ini kepada para Sahabatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
رَأَيْتُ فِي رُؤْيَايَ أَنِّي هَزَزْتُ سَيْفًا فَانْقَطَعَ صَدْرُهُ
فَإِذَا هُوَ مَا أُصِيبَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ أُحُدٍ ثُمَّ
هَزَزْتُهُ بِأُخْرَى فَعَادَ أَحْسَنَ مَا كَانَ فَإِذَا هُوَ مَا جَاءَ
اللَّهُ بِهِ مِنَ الْفَتْحِ وَاجْتِمَاعِ الْمُؤْمِنِينَ وَرَأَيْتُ
فِيهَا بَقَرًا وَاللَّهُ خَيْرٌ فَإِذَا هُمُ الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ
أُحُدٍ وَإِذَا الْخَيْرُ مَا جَاءَ اللَّهُ بِهِ مِنْ الْخَيْرِ وَثَوَابِ
الصِّدْقِ الَّذِي آتَانَا اللَّهُ بَعْدَ يَوْمِ بَدْرٍ
Saya bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah. Itu
(isyarat-pent) musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud.
Kemudian saya ayunkan lagi pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih
baik dari sebelumnya. Itu (isyarat-pent) kemenangan yang Allah Azza wa
Jalla anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu saya juga
melihat seekor sapi – Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang
terbaik- Itu (isyarat) terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban)
dalam perang Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Azza wa Jalla
anugerahkan dan balasan kejujuran yang Allah Azza wa Jalla karuniakan
setelah perang Badar[6]
Dalam riwayat lain :
وَرَأَيْتُ أَنِّي فِي دِرْعٍ حَصِينَةٍ فَأَوَّلْتُهَا الْمَدِينَةَ
Dan saya melihat diriku berada dalam baju besi yang kuat. Baju besi yang kuat ini saya takwilkan Madinah[7]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menakwilkan mimpi Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan kekalahan dan kematian yang
akan terjadi dalam Perang Uhud.
Saat mengetahui kedatangan Quraisy untuk menyerbu kaum Muslimin di
Madinah, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak para Sahabat
bermusyawarah untuk mengambil tindakan terbaik. Apakah mereka tetap
tinggal di Madinah menunggu dan menyambut musuh di kota Madinah ataukah
mereka akan menyongsong musuh di luar Madinah ? Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam cenderung mengajak para Sahabat bertahan di Madinah
dan melakukan perang kota, namun sekelompok kaum Anshâr Radhiyallahu
anhum mengatakan, “Wahai Nabiyullâh ! Sesungguhnya kami benci berperang
di jalan kota Madinah. Pada jaman jahiliyah kami telah berusaha
menghindari peperangan (dalam kota), maka setelah Islam kita lebih
berhak untuk menghindarinya. Cegatlah mereka (di luar Madinah)” !
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiap untuk berangkat. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan baju besi dan segala peralatan
perang. Setelah menyadari keadaan, para Sahabat saling menyalahkan.
Akhirnya, mereka mengatakan: “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menawarkan sesuatu, namun kalian mengajukan yang lain. Wahai Hamzah
Radhiyallahu anhu, temuilah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
katakanlah, ‘Kami mengikuti pendapatmu.’ Hamzah Radhiyallahu anhu pun
datang menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan,
‘Wahai Rasulullâh, sesungguhnya para pengikutmu saling menyalahkan dan
akhirnya mengatakan, ‘Kami mengikuti pendapatmu.’ Mendengar ucapan paman
beliau ini, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘Sesungguhnya jika seorang nabi sudah mengenakan peralatan perangnya,
maka dia tidak akan menanggalkannya hingga terjadi peperangan’[8].
Keputusan musyawarah tersebut adalah menghadang musuh di luar kota
Madinah. Ibnu Ishâq rahimahullah dan yang lainnya menyebutkan
bahwa`Abdullâh ibnu Salûl setuju dengan pendapat Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk tetap bertahan di Madinah. Sementara at-Thabariy
membawakan riwayat yang berlawanan dengan riwayat Ibnu Ishâq
rahimahullah, namun dalam sanad yang kedua ini ada orang yang tertuduh
dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu, al-Bâkiriy dalam
tesisnya lebih menguatkan riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Ishâq
rahimahullah.
Para Ulama Ahli Sirah menyebutkan bahwa yang memotivasi para Sahabat
untuk menyongsong musuh di luar Madinah yaitu keinginan untuk
menunjukkan keberaniaan mereka di hadapan musuh, juga keinginan untuk
turut andil dalam jihad, karena mereka tidak mendapat berkesempatan
untuk ikut dalam Perang Badar. Sementara, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam lebih memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di Madinah,
karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memanfaatkan
bangunan-bangunan Madinah serta menfaatkan orang-orang yang tinggal di
Madinah.
PELAJARAN DARI KISAH
Kaum Muslimin yang sedang berada di daerah, jika diserbu oleh musuh,
maka mereka tidak wajib menyongsong kedatangan musuh. Mereka boleh tetap
memilih bertahan di rumah-rumah mereka dan memerangi musuh di sana. Ini
jika strategi ini diharapkan lebih mudah untuk mengalahkan musuh. Hal
ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam Perang Uhud.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1430H/2009.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dengan bahasa bebas dari kitab As-Sîratun Nabawiyah fî Dhau’il Mashâdîril Ashliyyah
[2]. Lihat As-Sîratun Nabawiyah as-Shahîhah, hlm. 378
[3]. Dari riwayat Khalîfah bin Khayyâth rahimahullah dalam tarikhnya,
hlm. 97 dengan sanad mursal dan mengandung unsur jahâlah (ada perawi
yang tidak diketahui identitasnya-pent); juga diriwayatkan oleh
at-Thabariy dalam tafsir beliau rahimahullah, 7/399 dengan sanad salah
satu perawinya ada yang bernama Husain bin `Abdillâh. Orang ini dhaîf.
Meski dhaîf (lemah) riwayat at-Thabariy merupakan riwayat yang paling
sah dalam masalah ini. Lihat Sîratun Nabawiyah ash-Shahîhah, karya DR
al-Umari
[4]. Lihat Ibnu Hisyâm, 3/87 dari riwayat Ibnu Ishâq rahimahullah dengan
tanpa sanad dan lihat juga Tarikh at-Thabariy 3/504 dari riwayat
al-Wâqidiy rahimahullah
[5]. At-Thabaqât, 2/37
[6]. HR al-Bukhâri, Al-Fath, 14/123-124, no. 3622 dan Muslim, 4/1779-1780, no. 2272
[7]. HR Ahmad, Al-Fathurrabbâniy, 21/50. Sanad hadits ini dinilai shahîh oleh Sa’âti
[8]. Tafsir at-Thabariy, 7/372-373/Syâkir dengan sanad hasan namun
mursal sampai ke Qatâdah rahimahullah. Sanad ini tersambung dalam kitab
Al-Musnad 3/351, Ar-Rabbâniy 21/51-52 dan Al-Majma’ 6/701 . Namun dalam
sanad ini terdapat periwayatan dengan menggunakan kalimat ‘an (dari)
oleh Abu Zubeir padahal dia sering melakukan tadlis. Riwayat ini
diperkuat oleh riwayat al–Baihaqi dalam kitab Ad-Dalâil 3/204 dengan
sanad hasan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dan riwayat penguat
lainnya dari Mûsa bin ‘Uqbah secara mursal dari az-Zuhriy 3/207; dan
diriwayatkan oleh `Abdurrazâq rahimahullah dalam Mushannafnya 5/364-365
secara mursal dari ‘Urwah dan al-Hâkim 2/128-129, 296, 297 dan beliau
rahimahullah menilai hadits ini shahîh dan ini disetujui oleh
ad-Dzahabiy. Hadits ini dengan seluruh jalur priwayatannya shahîh, coba
lihat ta’lîq Syaikh al-Albâni terhadap kitab Fiqhussîrah karya
al-Ghazâli, hlm. 269; juga Tesis karya Husein al-Bâkiri : Marwiyâtu
Uhud, hlm. 62; al-Umariy, Al-Mujtama’-al-Jihâd, hlm. 67
Setelah bermusyawarah dengan para shahabat, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memutuskan untuk menyambut serangan kaum kuffar Makkah
dan sekitarnya diluar Madinah. Sebelum berangkat, Rasulullah membagi
pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tiga regu dan
masing-masing diberi bendera. Bendera regu Muhajirin diserahkan kepada
Mush’ab bin Umar Radhiyallahu anhu yang selanjutnya diganti oleh Ali bin
Abu Thâlib setelah Mush’ab Radhiyallahu anhu wafat sebagai syahid di
medan tempur, bendera Aus dibawa oleh Usaid bin Hudhair sementara satu
bendera lagi yaitu bendera Khazraj dipercayakan kepada al Habbab bin al
Mundzir Radhiyallahu anhu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Madinah pada hari
Jum’at disertai dengan seribu pasukan. Diantara mereka ada 100 orang
yang mengenakan baju besi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri pada saat itu mengenakan dua lapis baju besi.[1] Sebelum
meninggalkan Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan amanah kepada Abdullah bin Ummi Maktûm untuk mengimami shalat
kaum muslimin di Madinah.
Ketika sudah melewati bukit Wadâ’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat sekelompok orang yang bersenjata lengkap. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: "Siapa mereka ?” Para shahabat
menjawab : “Itu adalah Abdullah bin Ubay ibnu Salul beserta
teman-temannya orang-orang Yahudi Bani Qainuqâ’, kelompoknya Abdullah
bin Salam yang berjumlah enam ratus. Mereka” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya lagi : “Apakah mereka sudah memeluk agama
Islam ?” Para shahabat menjawab : “Tidak, wahai Rasulullah.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suruhlah mereka pulang ! kita
tidak akan minta bantuan kepada orang-orang musyrik dalam rangka
menghadapi orang-orang musyrik juga.”[2] Jika riwayat ini benar, berarti
pengusiran terhadap Bani Qainuqâ’ itu terjadi setelah perang Uhud.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin
melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di as-Syauth (nama tempat), tokoh
munafik Abdullah bin Ubay ibnu Salul diikuti oleh tiga ratus munafik
lainnya membelot, kembali dan tidak mau ikut berperang. Mereka beralasan
bahwa peperangan tidak akan terjadi. Pembelotan ini juga sebagai bentuk
protes terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memutuskan untuk menyambut kedatangan musuh di luar Madinah.[3] Dalam
merespon tindakan buruk yang dilakukan orang-orang munafik ini, para
shahabat terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok memandang agar kaum
muslimin menyerang dan memberi pelajaran kepada orang-orang munafik ini
sementara satu kelompok lagi memandang tidak perlu menyerang mereka.
lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Maka mengapa kalian (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi)
orang-orang munafik, padahal Allah Telah membalikkan mereka kepada
kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? [an-Nisa’/4:88][4]
Menyaksikan pembelotan Abdullah bin Ubay ibnu Salul ini, Abdullah bin
‘Amr bin Harâm Radhiyallahu anhu menyusul mereka hendak mengingatkan
agar kembali dan bergabung dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam namun uapaya ini gagal dan mereka tetap menolak. Akhirnya,
Abdullah bin ‘Amr bin Harâm Radhiyallahu anhu geram dan mengatakan :
“Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kalian dari rahmat-Nya, wahai
musuh-musuh Allah ! Allah Azza wa Jalla pasti akan menjadikan nabi-Nya
tidak butuh pada kalian." Isyarat tentang dialog ini terdapat dalam
firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ
وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ﴿١٦٦﴾وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ نَافَقُوا ۚ
وَقِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوِ ادْفَعُوا ۖ
قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ ۗ هُمْ لِلْكُفْرِ
يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ ۚ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ
مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ
Dan apa yang menimpa kalian pada hari bertemunya dua pasukan, maka
(kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah
mengetahui siapa orang-orang yang beriman. Dan supaya Allah mengetahui
siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: "Marilah
berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)". mereka berkata:
"Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami
mengikuti kamu" Pada hari itu, mereka lebih dekat kepada kekafiran dari
pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak
terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan
Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. [Ali
Imrân/3:166-167][5]
Ketika itu, Bani salamah dari suku Khazraj dan Bani Hâritsah dari suku
Aus hampir saja ikut mundur dan bergabung bersama orang-orang munafik,
namun Allah Azza wa Jalla memberikan mereka keteguhan hati untuk tetap
bertahan dengan kaum Muslimin. Tentang mereka ini, Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena takut, padahal
Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah
orang-orang mukmin bertawakkal hanya kepada Allah [Ali Imrân/3:122][6]
Rasulullah beserta kaum Muslimin terus melanjutkan perjalanan. Ketika
tiba di daerah Syaikhân[7] , mereka beristirahat dan bermalam disana.
Disinilah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada
beberapa pemuda untuk kembali dan tidak memperkenankan mereka ikut
terjun ke medan tempur. Hal ini disebabkan karena usia mereka yang masih
terlalu muda, yaitu masih berusia empat belas tahun kebawah. Diantara
mereka yang disuruh pulang adalah Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsâbit,
Usâmah bin Zaid, Nu’mân bin Basyîr, Zaid bin Arqam, Barrâ’ bin ‘âzib dan
lain-lain[8] , termasuk diantara yang ditolak oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma[9] .
Jumlah anak-anak muda yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk kembali
ini sekitar 14 orang. Pada saat yang sama, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan ijin kepada Raafi’ bin Khadiij Radhiyallahu
anhu karena dia ahli memanah juga memberikan ijin kepada Samurah bin
Jundub karena dia lebih kuat dibandingkan Raafi’. Saat itu, usia
keduanya juga sudah lima belas tahun. Oleh karena itu, ada yang
berpendapat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
ijin kepada mereka karena usia mereka yang sudah lima belas tahun, bukan
karena kemampuan mereka.[10]
Pada malam ini, Dzakwân bin Abdil Qais senantiasa berjaga-jaga, bahkan
ada yang mengatakan, beliau Radhiyallahu anhu tidak pernah meninggalkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
PELAJARAN DARI KISAH
Seorang pemimpin berhak untuk tidak memberikan ijin kepada anak-anak
muda yang belum baligh dan tidak memiliki kemampuan untuk ikut
berperang. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma dan kawan-kawan beliau yang disuruh pulang karena
masih terlalu belia.[11]
Maraji :
- as-Siratun Nabawiyah fi mashaadiril Ashliyyah
- Fiqhus siyar min Zâdil Ma’âd
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1430H/2009.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab
al Mustadrak, 3/25 dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini
shahih. Imam Dzahaby menyepakati hokum beliau t ini. (al Maghaziy, karya
al-Waaqidi, 1/219) - lihat as-Siratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashadiril
Ashliyyah, hlm. 382.
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d pada dua tempat. yang pertama (2/39)
tanpa sanad dan yang kedua (2/48) dengan sanadnya dan riwayat kedua
inilah yang kita bawakan ini. Namun dalam sanadnya ada beberapa catatan,
karena perawinya yang bernama Ibnu Khadasy, orangnya jujur tapi
terkadang salah; perawi yang bernama Muhammad bin Amr, orangnya jujur
tapi memiliki catatan; serta Ibnul Mundzir orangnya maqbul. Sanad yang
memiliki catatatan ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain (syawâhid dan
mutaba’at). - lihat as-siratun nabawiyyah fi dhau’il mashadiril
ashliyyah, hlm. 382.
[3]. Kisah tentang orang-orang munafik yang membelot ini bisa didapatkan dalam shahih Bukhari, al-Fath, 15/232, hadits no. 4050.
[4]. HR Imam Bukhari, al-Fath, 15/232, no. 4050, lihat riwayat-riwayat
tentang masalah ini dalam tafsir at-Thabari. beliau rahimahullah juga
membawakan riwayat lain tentang sebab turun ini.
[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq secara mursal (Ibnu Hisyâm, 3/93).
[6]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, al-Fath,5/233, no. 4051 dan Imam Muslim, 4/1984, no. 2505
[7]. Dua bangunan yang pada zaman jahiliyah ditempati oleh dua orang tua
buta. Sehingga kedua bangunan ini dikenal dengan nama syaikhaan (dua
orang tua).
[8]. Nama-nama mereka disebutkan oleh Ibnu Sayidin Nâs, ‘Uyûnul Atsar 2/7.
[9]. HR Imam Bukhâri, al-Fath, 15/276, no. 4097 dan Imam Muslim, 3/1490, no. 1868
[10]. Fiqhus siyar min Zaadil Ma’ad, hlm. 179
[11]. Fiqhus siyar min Zaadil Ma’ad, hlm. 190
Pembelotan yang dilakukan oleh kaum munafiqin menyebabkan jumlah pasukan
kaum Muslimin berkurang. Namun, ini tidak mengendorkan semangat tempur
para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah menginap pada
malam itu, pada harinya yaitu Sabtu pagi, kaum Muslimin melanjutkan
perjalanan menuju bukit Uhud. Ketika sudah sampai di sana, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengatur strategi. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan kaum Muslimin untuk
membelakangi bukit Uhud dan menghadap ke Madinah. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga menempatkan 50 orang pemanah untuk berada di
puncak bukit ‘Ainain. Tugas para pemanah yang dipimpin oleh ‘Abdullâh
bin Jubair Radhiyallahu anhu ini adalah melindungi kaum Muslimin yang
berada di bawah bukit dari serangan kaum kafir Quraisy yang mungkin
dilakukan dari arah belakang kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu
'alaihi wa sallam melarang keras para pemanah ini meninggalkan tempat
mereka ini, meskipun dalam keadaan genting kecuali ada perintah dari
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنْ رَأَيْتُمُوْنَا تَخْطَفُنَا الطَّيْرُ فَلاَ تَبْرَحُوْا مَكَانَكُمْ
هَذَا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ وَإِنْ رَأَيْتُمُوْنَا هَزَمْنَا
الْقَوْمَ وَأَوْطَأْنَاهُمْ فَلاَ تَبْرَحُوْا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ
Meskipun kalian melihat kami disambar burung, janganlah kalian
meninggalkan tempat kalian ini sampai aku mengutus utusan kepada kalian.
Meskipun kalian melihat kami telah berhasil mengalahkan mereka, maka
janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini sampai aku mengutus
utusan kepada kalian [HR. al- Bukhâri][1]
Dengan strategi ini, kaum Muslimin berhasil menguasai dataran-dataran
yang tinggi dan membiarkan lembah untuk pasukan Quraisy menghadap ke
bukit Uhud dan membelakangi Madinah.
Ketika kedua pasukan yang berlawanan ini mulai semakin mendekat, Abu
‘Amir[2] memanggil kaumnya yaitu kabilah Aus untuk bergabung bersamanya
di barisan kaum kafir Quraisy. Mendengar seruan ini, para Sahabat
menolaknya dengan keras. Mereka mengatakan, “Wahai orang fasik ! Semoga
Allah Azza wa Jalla tidak memberikan kenikmatan kepadamu !” Mendengar
jawaban yang tidak diharapkan ini, dia pun kembali dengan penuh
kedongkolan.[3]
Setelah itu, pertempuran sengit antara dua pasukan ini tak terhindarkan
lagi. Pasukan Muslimin bertempur dengan penuh semangat, tekad mereka
hanya untuk membunuh atau terbunuh. Sehingga dalam waktu singkat mereka
berhasil memukul mundur pasukan Quraisy ke markas mereka sampai
mendekati barisan kaum wanita yang mendukung mereka. Untuk semakin
mengobarkan semangat tempur para Sahabat Radhiyallahu anhum, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghunus pedang sambil bersabda,
“Siapakah yang mau mengambil pedang ini dariku ?” Seluruh Sahabat yang
mendengar ini sontak mengacungkan tangan sebagai isyarat bahwa mereka
menginginkannya. Semua mengatakan, “Saya! Saya.” Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda lagi, “Siapakah yang bersedia mengambilnya
beserta haknya ?” Mendengar ini, para Sahabat menahan diri. Lalu Abu
Dujânah Radhiyallahu anhu mengatakan, “Saya bersedia mengambilnya
beserta haknya.” Lalu Abu Dujânah Radhiyallahu anhu mengambilnya dan
mempergunakannya untuk membabat tubuh-tubuh musuh Islam. [HR Muslim,
4/1917, no. 2470]
Para Sahabat bertempur dengan penuh kesatria. Telah tercatat dalam
lembaran sejarah keberanian yang ditunjukkan oleh Hamzah bin ‘Abdul
Muththalib Radhiyallahu anhu juga para Sahabat yang lain. Ketika beliau
Radhiyallahu anhu mendengar tantangan dari salah seorang kafir Quraisy
yang bernama Sibâ’ bin ‘Abdil Uzzâ, beliau Radhiyallahu anhu bergegas
menyambut tantangan tersebut. Beliau Radhiyallahu anhu berhasil
mengalahkan orang kafir tersebut. Sementara di tempat lain, ada Wahsyi,
budak hitam milik Jubair bin Muth’im yang selalu mengintai kesempatan
untuk menyerang Hamzah Radhiyallahu anhu. Oleh tuannya, Wahsyi
dijanjikan merdeka jika berhasil menghabisi Hamzah Radhiyallahu anhu ,
sebagai pembalasan terhadap Hamzah Radhiyallahu anhu yang telah membunuh
Thu’aimah bin ‘Adi dalam perang Badar. Dia mengendap-ngendap berusaha
mendekati Hamzah Radhiyallahu anhu , ketika melihat Hamzah Radhiyallahu
anhu berada dalam jangkauan serangannya, dia mulai membidik Hamzah
Radhiyallahu anhu dengan tombaknya dan melemparnya. Lemparannya tepat
mengenai sasaran sehingga menyebabkan Hamzah Radhiyallahu anhu wafat
sebagai syahid dalam peperangan ini. Wahsyi berhasil membunuh Hamzah
Radhiyallahu anhu dengan cara yang sangat curang.
Sementara itu, peperangan terus berlangsung. Mush’ab bin Umair
Radhiyallahu anhu terus bertempur sambil membawa bendera sampai akhirnya
beliau Radhiyallahu anhu gugur. Selanjutnya, bendera dibawa oleh Ali
bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu . Kaum Muslimin terus berjuang sehingga
memaksa kaum Kafir mundur. Pada babak pertama ini, kaum Muslimin
berhasil memenangkan pertarungan. Tentang ini, Allah Azza wa Jalla
berfirman :
وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ
Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kalian, ketika
kalian bisa membunuh mereka dengan izin-Nya [Ali Imrân/3:152]
Ketika melihat pasukan musuh lari tunggang langgang, pasukan `Abdullâh
bin Jubair Radhiyallahu anhu mengatakan : “Ghanîmah … Ayo kawan-kawan !
ghanîmah … teman-teman kalian sudah menang, tunggu apa lagi ?” Mendengar
ajakan ini, `Abdullâh Radhiyallahu anhu berusaha mengingatkan, “Apakah
kalian telah lupa pesan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
kalian ?” Mereka menjawab, “Demi Allah ! Kami akan mendatangi mereka
kemudian mengambil ghanîmah !” Lalu mereka bergegas meninggalkan tempat
itu dan melanggar pesan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Mereka ikut serta mengumpulkan ghanîmah.
Melihat kaum Muslimin tersibukkan oleh ghanîmah, Khâlid bin Walîd
sebagai salah satu komandan kaum Quraisy tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Dia memerintahkan pasukannya untuk kembali ke medan tempur.
Mendapatkan serangan dadakan dan tak terduga ini, jelas membuat kaum
Muslimin kelabakan dan kocar-kacir serta membuat suasana jadi kacau tak
terkendali. Sampai-sampai kaum Muslimin kesulitan untuk membedakan
antara kawan dan lawan. Dalam suasana kacau inilah, kaum Muslimin
menyerang dan membunuh al-Yamân, orang tua Sahabat yang bernama
Hudzaifah, padahal Hudzaifah Radhiyallahu anhu sudah berteriak bahwa
yang sedang mereka serang itu adalah ayahnya. Akhirnya, al-Yamân
meninggal di tangan kaum Muslimin. Setelah memastikan orang tuanya
meninggal, Hudzaifah Radhiyallahu anhu mengatakan, “Semoga Allah Azza wa
Jalla mengampuni kalian”[4].
Dalam pertempuran babak kedua ini, banyak kaum Muslimin yang gugur
sebagai syahid. Kaum Muslimin juga kehilangan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan tersiar kabar bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah gugur.[5] Berbagai tindakan dilakukan oleh kaum Muslimin
sebagai respon terhadap berita wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ada yang lari meninggalkan medan tempur, sebagian terdiam
tidak mau bertempur lagi, sementara sebagian lagi terus berjuang dan
berusaha mengobarkan semangat tempur kaum Muslimin.
Di antara yang terus berjuang dan mengobarkan semangat kaum Muslimin
yaitu Anas bin Nadhar Radhiyallahu anhu yang bertekad menebus
ketidakikutsertaannya dalam perang Badar. Ketika melihat sebagian kaum
Muslimin diam tidak bersemangat lagi, beliau Radhiyallahu anhu
mengatakan, “Surga, demi Rabbnya Nadhar! Sungguh aku mencium bau surga
di balik Uhud !” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu maju bertempur sampai
gugur sebagai syahid. Ketika jasad beliau ditemukan, tidak ada seorang
Sahabat pun yang bisa mengenalinya karena begitu banyak luka tusuk
akibat tombak atau panah dan sayatan pedang di tubuh beliau Radhiyallahu
anhu . Tentang Anas bin Nadhar Radhiyallahu anhu ini atau para
Mujahidin yang semisal dengan beliau Radhiyallahu anhu , Allah Azza wa
Jalla berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ
فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا
بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah; di antara mereka ada yang gugur dan
di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak
merubah (janjinya) [al-Ahzâb/33:23]
PELAJARAN DARI KISAH
1. Bolehnya mendatangi barisan musuh untuk melakukan penyerangan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Nadhar Radhiyallahu anhu dan
yang lainnya.
2. Jika dalam peperangan, pasukan kaum Muslimin membunuh seorang Muslim
karena dikira musuh, maka beban diyat dipikulkan kepada imam dan
diambilkan dari Baitul Mal, sebagaimana dalam perang Uhud. Ketika kaum
Muslimin membunuh orang tua Hudzaifah Radhiyallahu anhuma yang dikira
musuh. Ketika Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak
membayarkan diyat (tebusan) nya kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhuma,
beliau Radhiyallahu anhuma menolaknya dan menyedekahkannya kepada kaum
Muslimin[6] . Sungguh mulia hati Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ini.
Marâji’ :
- As-Sîratun Nabawiyah Fî Dhauil Mashâdiril Ashliyyah, Dr Mahdi Rizqullâh
- Fiqhus Sîratin Nabawiyah min Zâdil Ma’âd Fî Hadyi Khairil 'Ibâd, Dr Sayyid al Jamîli, Cet. Dârul Fikri al Arabi-Bairut
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri, Al-Fath 12/132 no. 3039 dan 15/224-225, no. 4043.
Dalam riwayat Ahmad dan al-Hâkim, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Lindungilah punggung-punggung kami. Jika kalian
melihat kami terbunuh, janganlah kalian menolong kami! Jika kalian
melihat kami telah berhasil mendapatkan ghanimah, maka janganlah kalian
bergabung dengan kami”. (Al-Musnad, 4/209/ tahqîq Ahmad Syâkir dan
beliau menyatakan sanadnya shahîh; al-Mustadrak, 2/296. Al-Hâkim
menshahîhkan riwayat ini dan ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi).
[2]. Orang ini bernama ‘Abdu ‘Amr bin Shaifi. Dia seorang pendeta dan
tokoh kabilah Aus pada masa Jahiliyah. Ketika Islam datang dan mulai
berkuasa di Madinah, dia menampakkan permusuhan kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian lelaki fasik ini eksodus ke
Mekah dan bergabung dengan Quraisy. Di sana dia terus mengobarkan api
permusuhan terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
memprovokasi kaum Quraisy supaya memerangi Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Dia juga menjanjikan pertolongan dari kaumnya di
Madinah jika terjadi peperangan antara Quraisy dengan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Fiqhus Siratin Nabawiyah min Zâdil Ma’âd
Fî Hadyi Khairil 'Ibâd, hlm. 170)
[3]. Ibnu Ishâk, dengan riwayat mursal, Ibnu Hisyâm, 3/97-98; al-Wâqidi, 1/223; Ibnu Sa’d 2/40
[4]. HR al-Bukhâri, Al-Fath, 15/239-240, no. 4065.
[5]. Lihat Al-Fath, 15/226 dan Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa
riwayat ini berasal dari ath-Thabari dari riwayat as-Suddi
[6]. Fiqhus Siratin Nabawiyah min Zaadil Ma’aad Fi Hadyi Khairil Ibaad, hlm. 193
http://almanhaj.or.id/content/3896/slash/0/perang-uhud-1/
http://almanhaj.or.id/content/3897/slash/0/perang-uhud-2/
http://almanhaj.or.id/content/3898/slash/0/perang-uhud-3/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments: